SIDANG INTERN I 2025

Refleksi dan Resolusi, Hasil Penting dari MMF XII FMIPA Unesa



DPM FMIPA UNESA 2024 Gelar Sarasehan dengan Birokrasi FMIPA UNESA dengan tema SAPA (Sampaikan Aspirasi, Perkuat Aksi)

Menjadi Penggerak Perubahan: Andri Haris Setiawan, S.Pd., M.T., Tantang Mahasiswa untuk Kritis dan Solutif dalam Mengawal Demokrasi di Pelatihan Legislatif DPM FMIPA UNESA 2024

Memperkuat Pilar Demokrasi dengan Membentuk Keterampilan Legislator Visioner yang Kritis, Aspiratif dan Solutif untuk Mengukir jejak Perubahan dalam Pelatihan Legislatif DPM FMIPA 2024

Ketika Demokrasi Tersandera: Pembangkangan Konstitusi di Gedung DPR

Apa yang tengah terjadi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan hanya sekadar kekacauan politik, melainkan suatu bentuk pembangkangan konstitusi yang terang-terangan. Dalam beberapa minggu ke belakang, kita melihat betapa rusaknya proses pembuatan undang-undang di negeri ini, di mana para wakil rakyat secara terang-terangan menolak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 dengan cara merevisi Undang-undang Pilkada.

Kita sedang menyaksikan kegilaan yang luar biasa. Ada dua putusan progresif dari MK yang sebenarnya ingin membuka ruang demokrasi yang selama ini sudah sempit. MK berupaya memperbaiki kerusakan demokrasi dengan membuka jalan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang lebih luas dan tidak didikte oleh oligarki partai. Namun, bukannya langsung menjalankan putusan tersebut, DPR berperilaku seolah-olah dapat memilih apakah mereka akan mengikuti putusan MK atau memilih putusan Mahkamah Agung (MA), di mana dalam pertimbangan hukum MK, hal itu sebetulnya tidak perlu ditafsirkan lagi.

Kasus ini berakar dari putusan MA yang memerintahkan KPU untuk mengubah aturan penentuan batas usia peserta pilkada. MA menyatakan usia calon kepala daerah ditentukan pada saat pelantikan dan bukan pada saat pendaftaran atau saat penetapan pasangan calon. Logika sederhana saja seharusnya cukup: jika ada syarat usia untuk pendaftaran, maka jelas usianya harus dihitung pada saat pendaftaran, bukan nanti saat pelantikan. Namun, tampaknya keputusan MA ini didesain hanya untuk satu orang, yaitu Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, yang usianya belum memenuhi syarat hingga waktu pelantikan. Tindakan ini bukan hanya tidak masuk akal, tapi juga menunjukkan bagaimana hukum dapat diubah sesuai kepentingan pihak tertentu.

Ketika DPR dihadapkan pada situasi ini, mereka bukannya segera menjalankan putusan MK, melainkan menyoalkannya. Mereka seakan merasa punya hak untuk memilih antara dua putusan hukum, padahal jelas, putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku sejak putusan dibacakan. Final berarti tidak ada upaya banding lagi, sedangkan mengikat berarti putusan tersebut wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak yang berkaitan. Situasi ini menunjukkan betapa rendahnya penghormatan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, serta memperlihatkan bagaimana wakil-wakil rakyat tidak lagi memperjuangkan kepentingan publik.

Perilaku ini merupakan pembangkangan konstitusi yang nyata, di mana DPR dan elite politik secara terang-terangan melanggar prinsip dasar negara hukum. Mereka bukan hanya tidak mematuhi konstitusi, tapi juga secara aktif merusaknya.

CATATAN KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA HINGGA TAHUN 2024

https://www.kompas.com/edu/read/2024/01/23/180806271/7-isu-pendidikan-yang-jadi-catatan-kritis-hingga-2024?page=all

Optimalisasi Pengawasan dan Budgeting oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa di Perguruan Tinggi

DPM FMIPA UNESA Gelar Edukasi Parlemen di DPRD JATIM dengan Tema “Reaktualisasi Legislator Muda yang Berintregritas Guna Mewujudkan Demokrasi Kampus Berlandaskan Hukum”

DPM FMIPA UNESA GELAR WEBINAR DIALOG KEBANGSAAN MEMBAHAS ISU KENAIKAN UKT DAN STUDENT LOAN