Surabaya – Dalam demokrasi yang sehat, legislator yang kritis, aspiratif, dan solutif adalah harapan masyarakat. Namun, apakah mahasiswa kita siap untuk mengemban peran ini? Itulah pertanyaan besar yang dibahas dalam Pelatihan Legislatif Dewan Perwakilan Mahasiswa FMIPA UNESA 2024, yang berlangsung pada 21-22 September 2024 di Gedung Auditorium Slamet Dajono, Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Dengan tema provokatif, “Memperkuat Pilar Demokrasi dengan Membentuk Keterampilan Legislator Visioner yang Kritis, Aspiratif, dan Solutif untuk Mengukir Jejak Perubahan,” acara ini mencoba menjawab tantangan besar tentang siapa yang akan memimpin Indonesia di masa depan.
Namun, pertanyaannya tetap sama: apakah pelatihan ini cukup untuk mencetak pemimpin yang dibutuhkan bangsa? Di tengah hiruk-pikuk politik yang penuh dengan kepentingan, korupsi, dan tantangan global, apakah sekedar menguasai teori cukup? Kita tidak bisa menutup mata bahwa generasi muda harus lebih dari sekadar tahu undang-undang atau teknik persidangan. Mereka harus siap menghadapi realitas pahit dunia politik.
Andri Haris Setiawan, S.Pd., M.T., ASN dari Kementerian Hukum dan HAM, hadir sebagai pemateri perundang-undangan yang memberikan pandangan mendalam tentang “sisi gelap dan terang” dari proses pembuatan undang-undang. Dalam sesinya, ia tidak hanya membahas bagaimana sebuah undang-undang dilahirkan, tetapi juga mengajak peserta merenungkan peran mereka sebagai pengawas sekaligus penggerak perubahan. “Jangan hanya jadi pengikut arus,” tegasnya. “Mahasiswa harus mampu mengkritisi setiap kebijakan yang dibuat, dan tidak hanya itu, harus punya solusi.”
Pernyataan ini menampar peserta—apakah kita benar-benar siap menjadi legislatif yang kritis, atau hanya diam karena takut bersuara? Seberapa sering kita melihat kebijakan yang asal dibuat tanpa memperhatikan dampak nyata bagi masyarakat kecil? Ini bukan hanya tentang memahami prosedur, ini tentang keberanian menantang status quo. Dan, ironisnya, terlalu banyak mahasiswa yang nyaman berada di zona netral tanpa mau “mengotori tangan” untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih besar.
Apakah itu yang kita inginkan?
Salah satu peserta mengungkapkan dalam kesannya bahwa acara ini “sangat bermanfaat dan tidak membosankan.” Tetapi, kita perlu bertanya lebih jauh, apakah wawasan yang diperoleh akan dibawa ke ranah aksi nyata? Atau hanya menjadi catatan dalam ingatan sementara yang tergerus waktu?
“Demokrasi itu bukan hadiah. Demokrasi adalah hasil dari perjuangan tanpa henti,” ujar Andri dalam penutup sesinya. Kata-kata ini menekankan bahwa tanpa partisipasi aktif dan kritis dari generasi muda, demokrasi Indonesia akan terus terancam oleh mereka yang lebih memilih untuk diam daripada bertindak.
Acara ditutup dengan sesi foto bersama yang menandai kesuksesan Pelatihan Legislatif DPM FMIPA UNESA 2024, tapi tantangan sesungguhnya baru dimulai. Apakah kita, sebagai generasi muda, akan memilih jalan aman, atau siap mengotori tangan kita demi perubahan?
Indonesia tidak butuh lebih banyak legislator yang diam. Indonesia butuh generasi yang berani melawan ketidakadilan, yang tak takut untuk vokal, dan yang tak gentar dalam menghadapi politik kotor. Generasi kita harus menjadi pilar yang memperkuat demokrasi, bukan hanya penonton yang pasif.“Mari, kita mulai aksi nyata,” pesan ini harus terus terpatri dalam benak setiap peserta. Kini, saatnya kita membuktikan apakah kita benar-benar siap mengukir jejak perubahan, atau hanya akan tenggelam dalam arus sistem yang kita biarkan tetap rusak.